Potensi Tersembunyi dibalik Cerita Budaya Desa Mukapayung Cililin

Berwisata alam di Bandung Raya, tentu orang akan langsung berpikiran pada beberapa lokasi terkenal seperti Gunung Tangkuban Perahu di utara, atau Kawah Putih dan sekitarnya di kawasan Ciwidey, Bandung Selatan. Dua kawasan ini memang menjadi primadona wisata alam di sekitar Bandung Raya. Namun kali ini saya akan mengajak kita untuk berwisata ke tempat yang berbeda, yaitu Cililin, Kabupaten Bandung Barat.

Berbicara Cililin, berdasarkan obrolan dengan beberapa teman, maka yang terlintas adalah satu, longsor. Di Cililin memang pernah terjadi beberapa longsoran besar, seperti pada bulan Maret 2013 di Desa Mukapayung, dan pada 2003 di Desa Kidang Pananjung. Korbannya cukup banyak dan merupakan berita utama pada Koran-koran pada saat itu. Namun longsor tentu merupakan musibah. Selain itu tentu saja kawasan Cililin memiliki potensi lain yang mungkin belum tergali dengan baik sehingga masyarakat tidak mengetahuinya.

Di Desa Mukapayung, Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung Barat, terdapat sebuah kawasan wisata alam yang sangat menarik, namanya “Lembah Curugan Gunung Putri”. Kawasan ini merupakan kawasan wisata yang dikelola oleh masyarakat sekitar dengan memanfaatkan berkah aliran Ci Bitung. Disini masyarakat menggunakan aliran Ci Bitung untuk membuat kolam pancing dan juga kolam renang. Selain itu terdapat pula warung-warung yang menjajakan kuliner khas sunda seperti nasi liwet, ayam bakar, ikan bakar yang tentu menggugah selera.

Pesona kawasan ini tidak hanya itu saja. Kawasan ini memiliki pesona geologi yang luar biasa. Kawasan ini termasuk ke dalam Formasi Pb menurut Soejatmiko (1972) yang berumur Pliosen atau sekitar 2-5 juta tahun yang lalu. Batuannya terdiri atas breksi yang berbentuk bukit-bukit besar yang dibelah oleh aliran Ci Bitung. Selain itu gejala kemiringan lapisan juga membuat orang dapat bertanya-tanya mengapa batuan memiliki lapisan yang miring sehingga dapat menjadi peluang edukasi geologi. Bongkah-bongkah raksasa yang jatuh dari tebing dinding breksi menambah eksotisme kawasan ini. Toponimi atau penamaan lokasi-lokasi di wilayah ini ternyata memiliki sebuah kisah yang cukup menarik.

Di masyarakat, rupanya, gunung-gunung dan batu-batu itu saling bertaut membentuk sebuah cerita rakyat. Kisah tentang salakadomas. Sebuah kekayaan budaya, tentunya.

Cerita Rakyat Desa Mukapayung.
Suatu ketika, sebuah kerajaan menyelenggarakan sayembara untuk mencari jimat salakadomas. Tak ada yang tahu apa yang melatari penyelenggaraan sayembara itu. "Yang jelas, siapa saja yang berhasil menemukan jimat tersebut, bakal dinikahkan dengan putri raja. Di antara para peserta, terdapat dua ksatria kenamaan kala itu, Mundinglaya dan Ki Jongkrang Kalapitung," tutur A. Ali Suharna (64), tokoh masyarakat sekaligus mantan Kepala Desa Muka Payung. Kami bertemu di dangau (gubuk) Kp. Cibitung Desa Muka Payung, Kec. Cililin, Kab. Bandung.

Singkat cerita, Mundinglayalah yang berhasil menemukan jimat salakadomas itu. Ia bermaksud mempersembahkan jimat tersebut kepada sang putri. Bersama seorang kawan bernama Munding Dongkol, sang ksatria mencari sang putri. "Rupanya, Ki Jongkrang tahu bahwa jimat itu sudah ditemukan Mundinglaya. Maka, ia segera mengatur siasat jahat," ujar Ali.

Ki Jongkrang memasang perangkap berupa batu di aliran sungai Cibitung. Masyarakat Desa Muka Payung mengenalnya sebagai batu langkob. "Salah satu ujung batu panjang itu disangkutkan di tebing. Sementara, ujung lainnya disanggah dengan tiang batu. Kalau Mundinglaya lewat, batu itu dijatuhkan," katanya.

Rupanya, perangkap itu tak berhasil menjerat Mundinglaya. Malah, Munding Dongkol yang tertangkap. Kedua batu langkob itu, hingga kini, masih ada di aliran Sungai Cibitung. "Yang satu masih utuh, sedangkan yang satu lagi sudah runtuh. Batu langkob itu menjepit batu yang mirip badan kerbau (munding -red.). Masyarakat di sini percaya bahwa itulah Munding Dongkol," ujar Ali.

Ki Jongkrang tak kehabisan akal. Ia memasang cermin besar di barat yang memperlihatkan sang putri tengah tetirah di atas bukit, di bawah payung. Padahal, bukit itu sesungguhnya berada di timur. Bukit itu berada di Kampung Mulka Payung. "Diam-diam, Ki Jongkrang membuat cubluk (lubang septic tank) yang dibubulu (ditutupi) dengan dedaunan dan ranting. Mundinglaya yang gembira bakal bertemu putri, akhirnya terperosok dan tak bisa bangkit lagi," ucapnya.

Tempat Ki Jongkrang meletakkan cermin (eunteung,-red.) itu, oleh masyarakat setempat, dikenal sebagai Leuwi Eunteung. Batu yang dipercaya sebagai Mundinglaya pun, hingga kini, masih ngajugrug (utuh berdiri) di sawah milik Ali Suharna. "Batu ini juga dinamakan Munding Jalu," katanya.

Kecurangan Ki Jongkrang disaksikan sang putri dari puncak bukit. Sang putri lari dan bersembunyi di bukit, tak jauh dari tempat semula. Ia meninggalkan payung yang meneduhinya. Payung –yang menjadi batu– itulah yang dikenal sebagai Mungkal (batu -red.) Payung. "Sementara, bukit tempat putri bersembunyi dinamakan Gunung Putri. Lalu, di lain waktu, seorang nakhoda bernama Demang Karancang bermaksud mempersunting putri itu, tapi tak bisa. Karena itulah, bukit di timur Gunung Putri dinamakan Gunung Karancang. Biasa juga disebut Gunung Nakhoda atau Gunung Kasep Roke," ungkapnya.

Kemudian hari, ketika dimekarkan dari Rancapanggung, desa itu diberi nama Muka Payung. Soalnya, desa tersebut kadung tersohor dengan situs mungkal payung yang berada di Kp. Mulka Payung. "Ada sebuah harapan. Desa ini bisa menjadi seperti payung terkembang," ujar Ali Suharna menandaskan.

Berwisata di sekitar Mukapayung ini merupakan wisata yang komplit. Dengan unsur geologi yang kental berupa bebatuan terjal membentuk tebing-tebing, air terjun, gua, mata air menjadikan wisata ini menantang bagi kita yang menyenangi wisata petualangan. Mitos yang berkembang di masyarakat juga sangat menarik sebagai bagian dari kegiatan wisata yang terpadu.

Berikut Foto dari bukit mukapayung.

--Ibni Hasyim--

Comments